TEKNIK
Penatalaksanaan Epistaksis
Mohammad Ichsan
Laboratorium/SMF Bagian Telinga, Hidung dan Tenggorokan Fakultas Kedokteran Universitas Syah Kuala/
Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin, Darussalam Banda Aceh, Aceh
ABSTRAK
Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung yang penyebabnya bisa lokal atau
sistemik. Perdarahan bisa ringan sampai serius dan bila tidak segera ditolong dapat ber-
akibat fatal. Sumber perdarahan biasanya berasal dari bagian depan atau bagian bela-
kang hidung. Untuk menghentikan perdarahan dilakukan tampon anterior, kauterisasi
dan tampon posterior. Komplikasi yang timbul pada pemasangan tampon anterior adalah
sinusitas, air mata berdarah dan septikemia. Komplikasi pemasangan tampon posterior
adalah otitis media, haemotympanum, laserasi palatum mole dan sudut bibir. Bila
dengan pemasangan tampon posterior perdarahan tidak berhenti maka dilakukan ligasi
arteri.
PENDAHULUAN
Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung
(1)
; merupa-
kan suatu keluhan atau tanda, bukan penyakit
(2,3)
. Perdarahan
yang terjadi di hidung adalah akibat kelainan setempat atau
penyakit umum. Penting sekali mencari asal perdarahan dan
menghentikannya, di samping perlu juga menemukan dan
mengobati sebabnya
(4)
. Epistaksis sering ditemukan sehari-hari
dan mungkin hampir 90% dapat berhenti dengan sendirinya
(spontan) atau dengan tindakan sederhana yang dilakukan oleh
pasien sendiri dengan jalan menekan hidungnya
(3)
. Epistaksis
berat, walaupun jarang dijumpai, dapat mengancam keselamat-
an jiwa pasien, bahkan dapat berakibat fatal, bila tidak segera
ditolong
(3,4)
.
Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan yaitu dari
bagian anterior dan bagian posterior. Epistaksis anterior dapat
berasal dari Pleksus Kiesselbach atau dari arteri athmoidalis
anterior. Sedangkan epistakasis posterior dapat berasal dari ar-
teri sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior
(2,3)
.
Epistaksis biasanya terjadi tiba-tiba. Perdarahan mungkin
banyak, bisa juga sedikit. Penderita selalu ketakutan sehingga
merasa perlu memanggil dokter.Sebagian besar darah keluar
atau dimuntahkan kembali.
ANATOMI VASKULAR
Suplai darah cavum nasi berasal dari sistem karotis; arteri
karotis eksterna dan karotis interna.
Arteri karotis eksterna memberikan suplai darah terbanyak
pada cavum nasi melalui :
1)
Arteri sphenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris
yang berjalan melalui foramen sphenopalatina yang mem-
perdarahi septum tiga perempat posterior dan dinding
lateral hidung.
2)
Arteri palatina desenden memberikan cabang arteri pala-
tina mayor, yang berjalan melalui kanalis incisivus pa-
latum durum dan menyuplai bagian inferoanterior septum
nasi.
Sistem karotis interna melalui arteri oftalmika memper-
cabangkan arteri ethmoid anterior dan posterior yang men-
darahi septum dan dinding lateral superior.
DEFINISI
Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung; merupakan
suatu tanda atau keluhan bukan penyakit
(1,2,3)
. Perdarahan dari
hidung dapat merupakan gejala yang sangat menjengkelkan
Cermin Dunia Kedokteran No. 132, 2001 43
dan mengganggu, dan dapat pula mengancam nyawa. Faktor
etiologi harus dicari dan dikoreksi untuk mengobati epistaksis
secara efektif
(2,4,7,10)
.
ETIOLOGI
Perdarahan hidung diawali oleh pecahnya pembuluh darah
di dalam selaput mukosa hidung.
Delapan puluh persen perdarahan berasal dari pembuluh
darah Pleksus Kiesselbach (area Little). Pleksus Kiesselbach
terletak di septum nasi bagian anterior, di belakang persam-
bungan mukokutaneus tempat pembuluh darah yang kaya anas-
tomosis
(7)
.
Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab-sebab lokal dan
umum atau kelainan sistemik
(2,3,4,10)
.
1) Lokal
a)
Trauma
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya
mengeluarkan sekret dengan kuat, bersin, mengorek hidung,
trauma seperti terpukul, jatuh dan sebagainya. Selain itu iritasi
oleh gas yang merangsang dan trauma pada pembedahan dapat
juga menyebabkan epistaksis.
b) Infeksi
Infeksi hidung dan sinus paranasal, rinitis, sinusitis serta
granuloma spesifik, seperti lupus, sifilis dan lepra dapat menye-
babkan epistaksis.
c) Neoplasma
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya
sedikit dan intermiten, kadang-kadang ditandai dengan mukus
yang bernoda darah, Hemongioma, karsinoma, serta angio-
fibroma dapat menyebabkan epistaksis berat.
d) Kelainan
kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis
ialah perdarahan telangiektasis heriditer (hereditary hemorr-
hagic telangiectasia/Osler's disease). Pasien ini juga menderita
telangiektasis di wajah, tangan atau bahkan di traktus gastro-
intestinal dan/atau pembuluh darah paru.
e) Sebab-sebab lain termasuk benda asing dan perforasi
septum.
Perforasi septum nasi atau abnormalitas septum dapat
menjadi predisposisi perdarahan hidung. Bagian anterior sep-
tum nasi, bila mengalami deviasi atau perforasi, akan terpapar
aliran udara pernafasan yang cenderung mengeringkan sekresi
hidung. Pembentukan krusta yang keras dan usaha melepaskan
dengan jari menimbulkan trauma digital. Pengeluaran krusta
berulang menyebabkan erosi membrana mukosa septum dan
kemudian perdarahan.
f) Pengaruh
lingkungan
Misalnya tinggal di daerah yang sangat tinggi, tekanan
udara rendah atau lingkungan udaranya sangat kering.
2) Sistemik
a) Kelainan darah misalnya trombositopenia, hemofilia dan
leukemia.
b)
Penyakit kardiovaskuler
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada
aterosklerosis, nefritis kronik, sirosis hepatis, sifilis, diabetes
melitus dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis akibat hiper-
tensi biasanya hebat, sering kambuh dan prognosisnya tidak
baik.
c)
Biasanya infeksi akut pada demam berdarah, influenza,
morbili, demam tifoid.
d) Gangguan
endokrin
Pada wanita hamil, menarche dan menopause sering terjadi
epistaksis, kadang-kadang beberapa wanita mengalami per-
darahan persisten dari hidung menyertai fase menstruasi.
LOKASI EPISTAKSIS
Menurunkan sumber perdarahan amat penting, meskipun
kadang-kadang sukar ditanggulangi
(3)
. Pada umumnya terdapat
dua sumber perdarahan, yaitu dari bagian anterior dan pos-
terior.
1) Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach,
merupakan sumber perdarahan paling sering dijumpai anak-
anak. Perdarahan dapat berhenti sendiri (spontan) dan dapat
dikendalikan dengan tindakan sederhana
(3,5,6,9)
.
2) Epistaksis posterior, berasal dari arteri sphenopalatina dan
arteri ethmoid posterior.
Perdarahan cenderung lebih berat dan jarang berhenti sen-
diri, sehingga dapat menyebabkan anemia, hipovolemi dan
syok. Sering ditemukan pada pasien dengan penyakit kardio-
vaskular
(3,5,6,9)
.
GAMBARAN KLINIS DAN PEMERIKSAAN
Pasien sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari
bagian depan dan belakang hidung. Perhatian ditujukan pada
bagian hidung tempat awal terjadinya perdarahan atau pada
bagian hidung yang terbanyak mengeluarkan darah
(7)
.
Untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempat-
kan dalam posisi dan ketinggian yang memudahkan pemeriksa
bekerja. Harus cukup sesuai untuk mengobservasi atau meng-
eksplorasi sisi dalam hidung. Dengan spekulum hidung dibuka
dan dengan alat pengisap dibersihkan semua kotoran dalam
hidung baik cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku;
sesudah dibersihkan semua lapangan dalam hidung diobservasi
untuk mencari tempat dan faktor-faktor penyebab per-
darahan
(5,9)
. Setelah hidung dibersihkan, dimasukkan kapas
yang dibasahi dengan larutan anestesi lokal yaitu larutan panto-
kain 2% atau larutan lidokain 2% yang ditetesi larutan adre-
nalin 1/1000 ke dalam hidung untuk menghilangkan rasa sakit
dan membuat vasokontriksi pembuluh darah sehingga per-
darahan dapat berhenti untuk sementara
(5,9)
. Sesudah 10 sampai
15 menit kapas dalam hidung dikeluarkan dan dilakukan
evaluasi.
Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret
berdarah dari hidung yang bersifat kronik memerlukan fokus
diagnostik yang berbeda dengan pasien dengan perdarahan
hidung aktif yang prioritas utamanya adalah menghentikan
perdarahan.
Pemeriksaan yang diperlukan berupa:
(5,9)
a) Rinoskopi
anterior
Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari an-
terior ke posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum
nasi, dinding lateral hidung dan konkhainferior harus diperiksa
dengan cermat.
b) Rinoskopi
posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior pen-
ting pada pasien dengan epistaksis berulang dan sekret hidung
Cermin Dunia Kedokteran No. 132, 2001
44
kronik untuk menyingkirkan neoplasma.
c) Pengukuran
tekanan
darah
Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagno-
sis hipertensi, karena hipertensi dapat menyebabkan epistaksis
yang hebat dan sering berulang.
d) Rontgen
sinus
Rontgen sinus penting mengenali neoplasma atau infeksi.
e) Skrining terhadap koagulopati
Tes-tes yang tepat termasuk waktu protrombin serum,
waktu tromboplastin parsial, jumlah platelet dan waktu per-
darahan.
f) Riwayat
penyakit
Riwayat penyakit yang teliti dapat mengungkapkan setiap
masalah kesehatan yang mendasari epistaksis.
PENATALAKSANAAN
Tujuan pengobatan epistaksis adalah untuk menghentikan
perdarahan.
Hal-hal yang penting adalah
(1)
:
1.
Riwayat perdarahan sebelumnya.
2.
Lokasi perdarahan.
3.
Apakah darah terutama mengalir ke tenggorokan (ke pos-
terior) atau keluar dari hidung depan (anterior) bila pasien
duduk tegak.
4.
Lamanya perdarahan dan frekuensinya
5.
Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga
6.
Hipertensi
7.
Diabetes melitus
8.
Penyakit hati
9.
Gangguan koagulasi
10.
Trauma hidung yang belum lama
11.
Obat-obatan, misalnya aspirin, fenil butazon
Pengobatan disesuaikan dengan keadaan penderita, apakah
dalam keadaan akut atau tidak
(3,10)
.
a)
Perbaiki keadaan umum penderita, penderita diperiksa
dalam posisi duduk kecuali bila penderita sangat lemah atau
keadaaan syok.
b)
Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan, per-
darahan dapat dihentikan dengan cara duduk dengan kepala
ditegakkan, kemudian cuping hidung ditekan ke arah septum
selama beberapa menit.
c)
Tentukan sumber perdarahan dengan memasang tampon
anterior yang telah dibasahi dengan adrenalin dan pantokain/
lidokain, serta bantuan alat penghisap untuk membersihkan
bekuan darah.
d)
Pada epistaksis anterior, jika sumber perdarahan dapat
dilihat dengan jelas, dilakukan kaustik dengan larutan nitras
argenti 20%-30%, asam trikloroasetat 10% atau dengan elek-
trokauter. Sebelum kaustik diberikan analgesia topikal terlebih
dahulu.
e)
Bila dengan kaustik perdarahan anterior masih terus ber-
langsung, diperlukan pemasangan tampon anterior dengan
kapas atau kain kasa yang diberi vaselin yang dicampur betadin
atau zat antibiotika. Dapat juga dipakai tampon rol yang dibuat
dari kasa sehingga menyerupai pita dengan lebar kurang ½ cm,
diletakkan berlapis-lapis mulai dari dasar sampai ke puncak
rongga hidung. Tampon yang dipasang harus menekan tempat
asal perdarahan dan dapat dipertahankan selama 1-2 hari.
Gambar 1. Tampon anterior
f) Perdarahan posterior diatasi dengan pemasangan tampon
posterior atau tampon Bellocq, dibuat dari kasa dengan ukuran
lebih kurang 3x2x2 cm dan mempunyai 3 buah benang, 2 buah
pada satu sisi dan sebuah lagi pada sisi yang lainnya. Tampon
harus menutup koana (nares posterior)
Gambar 2. Tampon Bellocq
Teknik Pemasangan
Untuk memasang tampon Bellocq, dimasukkan kateter
karet melalui nares anterior sampai tampak di orofaring dan
kemudian ditarik ke luar melalui mulut. Ujung kateter kemu-
dian diikat pada dua buah benang yang terdapat pada satu sisi
tampon Bellocq dan kemudian kateter ditarik keluar hidung.
Benang yang telah keluar melalui hidung kemudian ditarik,
sedang jari telunjuk tangan yang lain membantu mendorong
tampon ini ke arah nasofaring. Jika masih terjadi perdarahan
dapat dibantu dengan pemasangan tampon anterior, kemudian
diikat pada sebuah kain kasa yang diletakkan di tempat lubang
hidung sehingga tampon posterior terfiksasi.
Sehelai benang lagi pada sisi lain tampon Bellocq dike-
luarkan melalui mulut (tidak boleh terlalu kencang ditarik) dan
Cermin Dunia Kedokteran No. 132, 2001 45
diletakkan pada pipi. Benang ini berguna untuk menarik
tampon keluar melalui mulut setelah 2-3 hari. Setiap pasien
dengan tampon Bellocq harus dirawat.
Gambar 3. Tampon posterior
Komplikasi Tindakan
Akibat pemasangan tampon anterior dapat timbul sinusitis
(karena ostium sinus tersumbat), air mata yang berdarah
(bloody tears) karena darah mengalir secara retrograd melalui
duktus nasolakrimalis dan septikemia.
Akibat pemasangan tampon posterior dapat timbul otitis
media, haemotympanum, serta laserasi palatum mole dan sudut
bibit bila benang yang dikeluarkan melalui mulut terlalu
kencang ditarik.
g) Sebagai pengganti tampon Bellocq dapat dipakai kateter
Foley dengan balon. Balon diletakkan di nasofaring dan dikem-
bangkan dengan air.
h)
Di samping pemasangan tampon, dapat juga diberi obat-
obat hemostatik. Akan tetapi ada yang berpendapat obat-
obat ini sedikit sekali manfaatnya.
i)
Ligasi arteri dilakukan pada epistaksis berat dan berulang
yang tidak dapat diatasi dengan pemasangan tampon
posterior. Untuk itu pasien harus dirujuk ke rumah sakit.
KESIMPULAN
1)
Epistaksis (perdarahan dari hidung) bisa ringan sampai
berat yang berakibat fatal.
2)
Perdarahan bisa berhenti sendiri sampai harus segera
ditolong.
3)
Pada epistaksis berat harus ditolong di rumah sakit oleh
dokter.
4)
Tindakan yang dilakukan pada epistaksis adalah dengan:
a)
Memencet hidung
b)
Pemasangan tampon anterior dan posterior
c)
Kauterisasi
d)
Ligasi (pengikatan pembuluh darah)
KEPUSTAKAAN
1.
Adam GL, Boies LR, Hilger PA. Boies Fundamentals of Otolaryngology,
Fifth Ed., Philadelphia : WB Saunders, 1978.
2.
Cidy DTR, Kern EB, Pearson BW. (eds) Disease of The Ear, Nose and
Throat. Mayo Fondation, 1981. Editor Adrianto P. Cetakan V. Jakarta,
Penerbit EGC, 1993.
3.
Iskandar N, Supardi EA. (eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung
Tenggorokan. Edisi Kedua, Jakarta FKUI, 1993, hal. 85, 103-7.
4.
Stell PN, Seilger J, Parcy R. Pelajaran Ringkas Telinga Hidung dan
Tenggorokan. Alih bahasa Roezim, A. dkk. Cetakan III, Jakarta, PT
Gramedia, 1989.
5.
Kalzt, AE. (eds) Manual of Otolaryngology Head and Neck Therapeutic.
Philadelphia, Lea dan Febiger, 1986.
6.
Ludman H, Petunjuk Penting Telinga Hidung Tenggorokan. Editor
Oswari, Jonathan. Jakarta, Hipokrates, 1992, 59-61.
7.
Maron AGD, (eds) Otorhinolaryngology Including Oral Medicine and
Surgery. Vol. 4 Baltimore, University Park Press, 1993.
8.
Junaidi P, Soemarso SA, Amelz H. (eds) Kapita Selekta Kedokteran.
Edisi Kedua, Jakarta : Penerbit Media Acusculapius, 1992, 242.
9.
Thaller SR, Granick MS, Myers EN (eds). Penyakit Telinga, Hidung dan
Tenggorokan. Alih bahasa Adrianto P. Cetakan Kedua, Jakarta, Penerbit
EGC, 1993.
10.
Rifki, Nusjirwan. Epistaksis Dalam "Penatalaksanaan Penyakit dan
Kelainan Telinga Hidung Tenggorokan. Balai Penerbit FKUI. Jakarta,
1992; 112-7.
Cermin Dunia Kedokteran No. 132, 2001
46