 | Sejak 2002, dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Profesor Stephanus Djawanai, mengidap gangguan prostat berat. Kala menjalani ultrasonografi di Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta, Januari 2003, dokter menemukan pembengkakan kelenjar dalam sistem reproduksi lelakinya itu. Tes prostate specific antigen (PSA) pun menunjukkan angka 4,8. Angka itu sekaligus memvonis pria 66 tahun ini terjangkit kanker dengan diferensiasi buruk. "Saat itu semua keluarga, termasuk saya, pasrah dengan vonis itu," katanya seusai jumpa media produk obat herbal di Mall Pacific Place, Jakarta, beberapa waktu lalu.
|
Testimoni Stephanus itu kini terbungkus rapi dalam kisah kesembuhan bersama puluhan penderita kanker lain di salah satu kemasan herbal. Dalam perjalanannya, pria berdarah Maluku itu mengaku tidak merasakan efek samping apa pun. Namun, dia mesti pantang makan daging, ikan, lemak tinggi, makanan mengandung pengawet, semua jenis telur, dan buah-buahan tertentu. "Saya merasa semakin sehat dan tetap kuat mengajar hingga berjam-jam," tuturnya.
Di tengah masyarakat, terapi herbal memang kerap jadi pilihan saat sang pasien tak lagi digdaya dengan dunia medis. Banyak alasan yang membuat mereka akhirnya membaurkan herbal dengan obat medis atau malahan melepaskan obat dokter. Contoh sang dosen ini karena alergi, namun ada yang menemukan efek samping herbal relatif lebih rendah. Ada pula yang menimbang karena faktor ekonomi dari pengobatan medis nan tinggi, dan ada juga yang tergoda janji selangit dari herbal. "Padahal obat-obat yang kebanyakan dari tanaman di Cina itu belum diteliti secara menyeluruh," kata Guru Besar Farmakologi dan Terapeutik Universitas Indonesia, Profesor Armen Muchtar, Sp.FK.
Menurut Armen, memang ada tanaman yang dikonversi menjadi obat untuk menyembuhkan penyakit kanker, seperti bunga vinca (Vinca rosea), di Indonesia tenar disebut tapak dara, dan tanaman sejenis cemara, taxel. "Namun, dalam ilmu kedokteran itu merupakan obat komplementer," ujarnya. Semua zatnya memang sudah diteliti dengan cermat dan tak merugikan bagi manusia. Di Nusantara, tapak dara dikenal dengan beragam sebutan, seperti sindapor di Sulawesi, kembang tembaga di Jawa Barat, dan kembang tapak daro di Jawa.
Sementara itu, Direktur PJ Daun Teratai Shiella Sutedja menyatakan produknya, Chang Sheuw Tian Ran Ling Yao, telah melalui dua kali uji klinis. Pertama pada 2001 di Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi, Fakultas Farmasi, UGM. Dalam studi, diuji tingkat kadar racun yang terpadat dalam obat dengan memakai tikus. Lalu, dikembangkan ke tahap berikutnya pada 2002, untuk melihat efektivitas penghambatan kadar obat pada pertumbuhan tumor di mencit dan tikus--keduanya disuntikkan sel kanker. Hasilnya, obat itu menurunkan kejadian dan menghambat pertumbuhan tumor dalam paru-paru kedua hewan tersebut. Malahan hasil penelitian UGM ini dibukukan dalam Jurnal Biologi Indonesia yang diterbitkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pada 2008.
Kedua pada 2006 di Laboratorium Kultur Jaringan Instalasi Penelitian dan Pengembangan RS Kanker Darmais berupa penelitian lanjutan dengan menggunakan beberapa jenis sel kanker, yaitu pada sel kanker mulut, serviks, kolon, dan payudara. Didapati obat itu memiliki efek sitotoksik yang tinggi dalam menghambat pertumbuhan sel kanker, serta berpotensi tinggi dalam mempengaruhi proses apoptosis pada sel-sel kanker tersebut.
Namun dalam sudut pandang Armen, dua uji klinis itu belum mencukupi standar ilmiah kedokteran. "Uji klinis harusnya dilakukan secara blinding, random, pembuktiannya tidak hanya satu, diuji pada orang sakit, dan juga dites dengan plasebo," ia memaparkan. Yang jelas, ia menambahkan, hasil studi jangan mengundang kontroversi. Lantas, menyamakan posisi herbal dengan obat medis yang dilakukan kalangan herbalis masih diragukan Armen. "Fitofarmaka masih lemah. Seharusnya Badan Pengawas Obat dan Makanan mengaturnya kembali," ucapnya tegas.
Toh contoh lain dari RS Darmais menyebutkan, seorang pasien kanker payudara bernama Habibah, 60 tahun, ketika divonis kanker pada 1996 oleh dokter, ia memilih pengobatan alternatif karena takut operasi. Tetapi ia gagal mencapai kondisi yang lebih baik. Akhirnya, perempuan yang tinggal di Tangerang itu memutuskan kembali ke Darmais dan dioperasi pada tahun itu juga. Setelah benar-benar ditangani medis lewat kemoterapi, sekarang ia dinyatakan pulih dari kanker.
Dua contoh kasus di atas, Stephanus dan Habibah, sama-sama nyata. Tinggal bagaimana Anda melihatnya. Yang jelas, saat ini banyak produk herbal yang merangsek pasar Indonesia. Harus hati-hati memilihnya, karena jarang sekali yang telah teruji secara ilmiah dan terbukti memberikan solusi bagi penderita kanker mulai dari stadium awal hingga pemulihan total.
Sumber : www.tempointeraktif.com
Lhiforcan, produk terbaru persembahan dari Liza Herbal International yang berkhasiat untuk membantu mencegah dan mengatasi kanker, tumor & kista. Terbuat dari tanaman keladi tikus, temuputih & daun sambiloto.
Segera hubungi agen Dr. Liza terdekat di kota anda, atau bisa juga melalui marketing kami rini@lizaherbal.com
Demikian informasinya semoga bermanfaat, mari kita jaga pola hidup sehat secara alami.
Salam Hangat,
Dr. Liza Communications
Cp. rini@lizaherbal.com
www.lizaherbal.com
__._,_.___
