Mantri Desa Tolong Warga Dipidana, Lika-liku Perjuangan Mantri di Pedalaman Kalimantan
Andi Saputra - detikNews
Andi Saputra - detikNews
Aprianto (dok detikcom)
Tenggarong - Beberapa orang berdiri di tengah perempatan jalan setapak. Dibawah pohon kelapa, 2 dari mereka mengibas-ibaskan HP sambil memelototi layar. Sesekali diam lalu geser sedikit demi sedikit.
"Beginilah kami. Sinyal hp gak ada,harus nyari dulu. Jadi maaf, jika tadi telpon nggak nyambung, bukannya HP mati, tapi memang tak ada sinyal ," ujar seorang mantri Desa Teluk Dalam, Muara Jawa, Kutai Kertanegara, Aprianto kepada detikcom, Rabu, (21/4/2010).
Aprianto, merupakan rekan seprofesi Misran, mantri yang dipidana 3 bulan penjara. Dibanding tempat pengabdian Misran, Aprianto bernasib lebih memilukan. Untuk mencapai Puskesmas Pembantu yang juga sebagai tempat tinggalnya, sedikitnya melewati beberapa bukit dengan jalan tanah.
"Untungnya tidak hujan, kalau hujan, saya jamin tak sampai sini," kisahnya.
Selain sinyal HP yang lenyap, kendala lain berupa air bersih yang tak ada. Meski jauh dari laut, tiap kali tanah digali, yang keluar air asin tak layak konsumsi. Akhirnya warga membeli air tawar untuk kehidupan sehari-hari seharga Rp30 ribu per tong.
"Itupun airnya kotor. Tak tahu ambil dari mana. Belum lagi listrik yang banyak matinya daripada nyala ," tambahnya.
Aprianto beserta istrinya, Nike Afrina menempati sebuah Puskesmas dari panggung kayu yang juga berfungsi sebagai rumah tinggalnya. Beratap seng, berdinding papan warna cokelat dan sanitasi ala kadarnya, dia berperan multiperan dari dokter, mantri, perawat, guru ngaji hingga ustadz.
"Ya beginilah. Kalau ada yang sakit, apapun kita harus tolong. Kalau mau ikut aturan UU, yaitu mantri tak boleh berperan sebagai dokter, matilah masyarakat. Minimal rumah ini diserbu warga," kisah pria kelahiran Padang, Sumatera Barat ini.
Setengah bangunan dia bagi dua, satu sebagai Puskesmas, satu sebagai tempat tinggalnya. Ruang Puskesmas dia belah jadi dua, satu sebagai ruang kantor, satu sebagai ruang pemeriksaan. Di ruang kantor ini, terdapat satu meja dan bangku, timbangan dan peralatan tulis. Sedangkan di ruang pemeriksaan pasien, terdapat satu tempat tidur dan satu almari obat.
"Tapi, tetap saja kita banyak dipanggil ke rumah warga," akunya.
Di desa tersebut, dia membawahi 80 KK serta 2 desa lagi yaitu Sungai Kamboja dan Sungai Nangka,1 jam perjalanan menggunakan ketinting (perahu tradisional) lewat sungai. Di dua desa tersebut, berdiam kurang lebih 20 KK yang tersebar di atas sungai.
"Kalau ada yang sakit harus kita tolong, meski cuma 20 KK," tegasnya.
Menuju kedua kampung tersebut, perahu tak semulus seperti di Danau Sunter Jakarta. Di sini, apabila air surut, baling-baling rawan terantuk batu. Kalau air naik, arus kencang. Tapi diantara keduanya, bahaya lainpun selalu mengancam.
"Buaya. Masih banyak di sepanjang sungai. Dan sering kita papasan dan siapa yang tidak takut?," cerita calon bapak dalam 4 bulan ke depan ini.
Melihat fakta di atas, emosinya ikut mendidih mendengar teman seprofesinya dipenjara gara-gara memberikan obat jenis G kepada warga. Pengorbanan lebih dari 8 tahun menjaga kesehatan masyarakat di pedalaman Kalimantan tiba-tiba tercabik-cabik oleh UU Kesehatan yang belum genap berumur 1 tahun.
"Di sini, kita dibayar dengan pisang dan kelapa sudah biasa. Padahal, di kebon kita juga
banyak," tuturnya.
Di tempatnya berdinas, hampir seluruh obat berlabel merah atau jenis G/dengan resep dokter. Obat tersebut diberikan Dinas Kesehatan untuk didistribusikan ke masyarakat yang membutuhkan. "Silakan saja saya diganti dokter, kalau dia bisa tahan dengan alam seperti ini," pungkasnya.
Kasus mantri desa sendiri bermula ketika Misran hakim PN Tenggarong yang diketuai oleh Bahuri dengan hakim anggota Nugraheni Maenasti dan Agus Nardiansyah memutus hukuman 3 bulan penjara, denda Rp 2 juta rupiah subsider 1 bulan pada 19 November 2009. Hakim menjatuhkan hukuman berdasarkan UU 36/ 2009 tentang Kesehatan pasal 82 (1) huruf D jo Pasal 63 (1) UU No 32/1992 tentang Kesehatan yaitu Mirsam tak punya kewenangan memberikan pertolongan layaknya dokter.
Putusan ini lalu dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi (PT) Kalimantan Timur, beberapa pekan lalu. Akibat putusan pengadilan ini, 13 mantri memohon keadilan ke MK, Aprianto di antaranya, karena merasa dikriminalisasikan oleh UU Kesehatan.
(asp/nwk)
Tenggarong - Beberapa orang berdiri di tengah perempatan jalan setapak. Dibawah pohon kelapa, 2 dari mereka mengibas-ibaskan HP sambil memelototi layar. Sesekali diam lalu geser sedikit demi sedikit.
"Beginilah kami. Sinyal hp gak ada,harus nyari dulu. Jadi maaf, jika tadi telpon nggak nyambung, bukannya HP mati, tapi memang tak ada sinyal ," ujar seorang mantri Desa Teluk Dalam, Muara Jawa, Kutai Kertanegara, Aprianto kepada detikcom, Rabu, (21/4/2010).
Aprianto, merupakan rekan seprofesi Misran, mantri yang dipidana 3 bulan penjara. Dibanding tempat pengabdian Misran, Aprianto bernasib lebih memilukan. Untuk mencapai Puskesmas Pembantu yang juga sebagai tempat tinggalnya, sedikitnya melewati beberapa bukit dengan jalan tanah.
"Untungnya tidak hujan, kalau hujan, saya jamin tak sampai sini," kisahnya.
Selain sinyal HP yang lenyap, kendala lain berupa air bersih yang tak ada. Meski jauh dari laut, tiap kali tanah digali, yang keluar air asin tak layak konsumsi. Akhirnya warga membeli air tawar untuk kehidupan sehari-hari seharga Rp30 ribu per tong.
"Itupun airnya kotor. Tak tahu ambil dari mana. Belum lagi listrik yang banyak matinya daripada nyala ," tambahnya.
Aprianto beserta istrinya, Nike Afrina menempati sebuah Puskesmas dari panggung kayu yang juga berfungsi sebagai rumah tinggalnya. Beratap seng, berdinding papan warna cokelat dan sanitasi ala kadarnya, dia berperan multiperan dari dokter, mantri, perawat, guru ngaji hingga ustadz.
"Ya beginilah. Kalau ada yang sakit, apapun kita harus tolong. Kalau mau ikut aturan UU, yaitu mantri tak boleh berperan sebagai dokter, matilah masyarakat. Minimal rumah ini diserbu warga," kisah pria kelahiran Padang, Sumatera Barat ini.
Setengah bangunan dia bagi dua, satu sebagai Puskesmas, satu sebagai tempat tinggalnya. Ruang Puskesmas dia belah jadi dua, satu sebagai ruang kantor, satu sebagai ruang pemeriksaan. Di ruang kantor ini, terdapat satu meja dan bangku, timbangan dan peralatan tulis. Sedangkan di ruang pemeriksaan pasien, terdapat satu tempat tidur dan satu almari obat.
"Tapi, tetap saja kita banyak dipanggil ke rumah warga," akunya.
Di desa tersebut, dia membawahi 80 KK serta 2 desa lagi yaitu Sungai Kamboja dan Sungai Nangka,1 jam perjalanan menggunakan ketinting (perahu tradisional) lewat sungai. Di dua desa tersebut, berdiam kurang lebih 20 KK yang tersebar di atas sungai.
"Kalau ada yang sakit harus kita tolong, meski cuma 20 KK," tegasnya.
Menuju kedua kampung tersebut, perahu tak semulus seperti di Danau Sunter Jakarta. Di sini, apabila air surut, baling-baling rawan terantuk batu. Kalau air naik, arus kencang. Tapi diantara keduanya, bahaya lainpun selalu mengancam.
"Buaya. Masih banyak di sepanjang sungai. Dan sering kita papasan dan siapa yang tidak takut?," cerita calon bapak dalam 4 bulan ke depan ini.
Melihat fakta di atas, emosinya ikut mendidih mendengar teman seprofesinya dipenjara gara-gara memberikan obat jenis G kepada warga. Pengorbanan lebih dari 8 tahun menjaga kesehatan masyarakat di pedalaman Kalimantan tiba-tiba tercabik-cabik oleh UU Kesehatan yang belum genap berumur 1 tahun.
"Di sini, kita dibayar dengan pisang dan kelapa sudah biasa. Padahal, di kebon kita juga
banyak," tuturnya.
Di tempatnya berdinas, hampir seluruh obat berlabel merah atau jenis G/dengan resep dokter. Obat tersebut diberikan Dinas Kesehatan untuk didistribusikan ke masyarakat yang membutuhkan. "Silakan saja saya diganti dokter, kalau dia bisa tahan dengan alam seperti ini," pungkasnya.
Kasus mantri desa sendiri bermula ketika Misran hakim PN Tenggarong yang diketuai oleh Bahuri dengan hakim anggota Nugraheni Maenasti dan Agus Nardiansyah memutus hukuman 3 bulan penjara, denda Rp 2 juta rupiah subsider 1 bulan pada 19 November 2009. Hakim menjatuhkan hukuman berdasarkan UU 36/ 2009 tentang Kesehatan pasal 82 (1) huruf D jo Pasal 63 (1) UU No 32/1992 tentang Kesehatan yaitu Mirsam tak punya kewenangan memberikan pertolongan layaknya dokter.
Putusan ini lalu dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi (PT) Kalimantan Timur, beberapa pekan lalu. Akibat putusan pengadilan ini, 13 mantri memohon keadilan ke MK, Aprianto di antaranya, karena merasa dikriminalisasikan oleh UU Kesehatan.
(asp/nwk)
__._,_.___